Kamis, 01 Oktober 2009

Sunnah dan Bid’ah

Secara etimologis, kata Sunnah berarti jalan atau tata cara yang telah mentradisi. [Ahmad Atiyatullah, 1980: 528] Sunnah juga berarti praktek yang diikuti, arah, model perilaku, atau tindakan, ketentuan dan peraturan.[Majiduddin Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuzzabadi, 1983: juz. IV, h. 237]. Di sisi lain, sunnah juga diartikan sebagai penengah di antara berbagai ekstrimitas atau middle way [jalan tengah]. Dalam kaitan ini Fazlur Rahman mencatat bahwa di dalam suratnya kepada Usman Al-Batti, ketika menerangkan pendapatnya tentang seorang muslim yang berdosa, atau ketika menentang keekstriman orang-orang Khawarij, Abu Hanifah menyatakan bahwa pendapatnya itu adalah sama dengan pendapat ahl al-‘adl wa al-sunnah [orang-orang penengah yang berada di jalan tengah][Fazlur Rahman, 1965: 3-4]

Dalam Al-Quran, kata sunnah disebut sebanyak enam belas kali termasuk sunan [bentuk pluralnya]. Kata sunnah dalam Al-Quran digunakan untuk beberapa konteks, yang secara garis besar dapat digolongkan kepada dua hal, yakni yang berkenaan dengan ketetapan orang-orang terdahulu [sunnah al-awwalin] dan ketetapan Allah [sunnatullah]. Sunnah yang disebut pertama berarti kejadian yang menimpa mereka, sedangkan sunnah yang disebut terakhir mengandung arti ketentuan Allah, cara-cara dan aturan yang berlaku bagi makhluk-Nya. [Isma’il Ibrahim, t.th: 254]
Selanjutnya, kata sunnah juga banyak dijumpai dalam sabda Nabi, seperti “…Barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. Sunnah dalam hadis ini berarti tata cara, yakni bahwa seseorang yang tidak mengambil tata cara Nabi dan mengambil tata cara yang lain, maka ia bukan golongan Nabi. [Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqalany, t.th.: 105]
Di samping itu, kata sunnah juga digunakan sebagai istilah teknis dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Ulama muhaddisin memberikan terminologis sunnah sebagai: “Segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakteristik etik, dan fisik atau sejarah, baik sebelum kenabian, seperti menyendiri di gua hira, maupun sesudahnya”. [Muhammad Ajjaj Al-Khatib, 1963: 16]
Di sisi lain, para ulama Ushuliyin mendefinisikan sunnah sebagai: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi selain Al-Quran berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang menghasilkan dalil bagi hukum syari’at”. Sedangkan ulama fikih memberikan definisi sunnah sebagai: “segala sesuatu yang ditetapkan dari Nabi Muhammad SAW, yang tidak termasuk katagori fardhu dan tidak wajib. [Ibid: 19]
Perbedaan definisi di kalangan ulama mengenai sunnah tersebut muncul karena perbedaan sudut pandang mereka dalam memahami kedudukan Rasulullah. Ulama muhaddisin melihat pengertian sunnah dari perspektif bahwa Rasulullah adalah sosok pemimpin dan pemberi tauladan yang baik, sehingga mereka mengambil apa saja yang berkaitan dengan Nabi, baik berupa sejarah, budi perilaku, berita-berita, sabda-sabda maupun tindakannya, baik yang mengandung ketentuan hukum maupun tidak.
Di sisi lain, ulama usuliyyin semata-mata meninjau sunnah dalam perspektif bahwa Rasulullah adalah legislator syari’ah yang menetapkan dasar hokum bagi para mujtahid dan yang menjelaskan kaidah hidup bagi manusia. Oleh karena itu, mereka hanya memperhatikan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau dalam konteks legislasi hukum dan pengukuhannya.
Sedangkan para fuqaha memandang sunnah dari perspektif bahwa segala sesuatu yang menjadi tindakan Rasulullah itu tidak terlepas dari fungsinya sebagai petunjuk untuk suatu hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari aspek hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, yang lebih dikenal dengan al-ahkam al-khamsah. [ibid:18]
Dalam pengertian khusus, term sunnah ditujukan kepada perkataan, perbuatan, dan taqrir [ketetapan] Rasulullah. Oleh karena itu, sunnah identik dengan hadis. Kadang-kadang sunnah ditujukan kepada realitas praktis dalam menerapkan syariat pada masa kenabian. Artinya kondisi yang dipraktekkan oleh umat Islam pada periode awal.
Kata sunnah berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu model. Kata tersebut juga diterapkan untuk memperagakan tingkah laku. Suatu tingkah laku yang patut dicontoh dapat dimulai dengan membuat model atau mengambil praktek nenek moyang, suku, atau komunitas. Sebagaimana dijelaskan Fazlur Rahman, bahwa konsep sunnah memiliki dua sisi: sisi yang secara historis [dianggap] fakta tingkah laku dan sisi normatif fakta tersebut bagi generasi penerus [Fazlur Rahman, 1979: 44]
Tentang sunnah, Rahman lebih lanjut mengatakan bahwa ia merupakan konsep yang sahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa.
Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka selain memperoleh pahala bagi dirinya, juga mendapat tambahan pahala dari orang yang mengamalkan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barang siapa melakukan sunnah yang jelek dalam Islam, maka selain memperoleh dosa bagi dirinya, juga mendapat tambahan dosa dari orang yang melakukan sesudahnya dengan tanpa mengurangi sedkitpun dosa mereka." (HR. Muslim).
Yang kita bahas di sini adalah pengertian sunnah sebagai sesuatu yang harus dipedomani dalam menjalankan agama, di mana setiap muslim harus merujuk kebiasaan (perilaku dan pola hidup) yang ada pada diri Nabi.
Menurut definisi kebanyakan ulama hadis muta'akhirin, kata sunnah adalah ibarat (ungkapan) yang dapat menyelamatkan dari keragu-raguan tentang ‘aqidah, khususnya dalam perkara iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, takdir, dan masalah keutamaan para sahabat. Istilah sunnah menurut ulama hadis muta'akhirin tersebut lebih ditekankan pada aspek aqidah, sebab aspek ini dianggap begitu penting, termasuk bahaya penyelewengannya. Namun jika diperhatikan dengan seksama, lafazh ini lebih mengacu kepada pengertian jalan hidup Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, baik ilmu, amal, akhlak, ataupun segi kehidupan lainnya.
Istilah sunnah menurut ulama hadis mutaakhirin tersebut lebih ditekankan pada aspek akidah, sebab aspek ini dianggap begitu penting, termasuk bahaya penyelewengannya. Dan karenanya, dalam kajian-kajian Islam, kata sunnah dihadapkan secara diametral dengan bid’ah atau bentuk inovasi penyelewengan dalam pengamalan agama.
Untuk memahami sunnah secara lebih dalam, maka kita juga perlu memahami pengertian bid’ah. Menurut ulama, bid’ah berarti segala sesuatu yang diada-adakan dalam bentuk yang belum ada contohnya (dari Nabi Muhammad SAW, Sahabat, dan generasi sesudahnya). Artinya segala perbuatan yang diada-adakan dalam ajaran agama tanpa ada landasan syari’at.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid’ah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa bid’ah adalah segala hal baru yang terdapat setelah masa Rasulullah SAW, dan khulafa Al-Rasyidun. Ibnu Rajab Al-Hanbali, seorang fuqaha Hanbali mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang baru yang tidak ada dasar syari’atnya. Sedangkan Al-Syatibi, seorang fuqaha Maliki menyatakan, bahwa yang disebut bid’ah adalah suatu thariqah atau metode yang diciptakan menyerupai syari’at dalam ajaran agama untuk dikerjakan sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Dari aspek kajian ushul fiqh, bid’ah diklassifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, bid’ah meliputi segala sesuatu yang diada-adakan dalam bidang ibadah saja. Bid’ah dalam pengertian ini adalah segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, yang dipandang menyamai syari’at agama, dan mengerjakannya secara berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT. Kedua, bid’ah meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun urusan adat.
Sedangkan dari aspek fikih, bid’ah adalah perbuatan tercela yang diada-adakan dan bertentangan dengan Al-Quran, sunnah, maupun ijmak. Bid’ah inilah yang dilarang oleh ajaran Islam, baik berupa perkataan maupun perbuatan, namun dalam persoalan duniawi tidak termasuk dalam pengertian ini. Di samping itu, bid’ah juga meliputi segala perbuatan yang diadakan setelah wafatnya Rasulullah yang meliputi perbuatan baik maupun perbuatan buruk; dan baik yang berkaitan ibadah maupun adat.
Lebih jauh, para ulama mengklasifikasikan bid’ah menurut bahasa menjadi menjadi dua bagian, yakni bid’ah hasanah [inovasi yang baik] dan bid’ah sayyi’ah [inovasi yang jelek]. Bid’ah hasanah diklasifikasikan lagi menjadi bid’ah wajibah, bid’ah mandubah, dan bid’ah mubahah. Sedangkan bid’ah sayyi’ah diklasifikasikan menjadi bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah.
Bid’ah wajibah adalah segala perbuatan yang masuk dalam katagori kaidah-kaidah wajib, dan masuk juga dalam kehendak dalil agama. Misalnya, mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, atau menetapkan kaidah-kaidah untuk menggali hukum Al-Quran. Perbuatan ini dianggap sebagai bid’ah, karena tidak ada praktek dan contoh pada masa Rasulullah.
Bid’ah Mandubah, adalah segala perbuatan yang masuk dalam katagori kaidah-kaidah nadb [sunat]. Misalnya, mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah pada bulan Ramadhan. Perbuatan ini masuk dalam katagori bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Inovasi shalat tarawih berjama’ah tersebut pertama kali dilakukan oleh Umar ibn Kattab.
Bid’ah mubahah, adalah segala perbuatan yang termasuk dalam katagori perbuatan yang dibolehkan [mubah]. Seperti penggunaan pengeras suara untuk azan.
Bid’ah Makruhah, adalah segala pekerjaan yang termasuk ke dalam katagori perbuatan yang dibenci [makruh]. Misalnya, menambah-nambah perbuatan sunat yang sudah ada batasnya. Sedangkan bid’ah muharramah, adalah segala perbuatan yang termasuk ke dalam katagori yang diharamkan. Seperti melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah. Bid’ah ini disebut sebagai bid’ah haqiqiyah.
Sementara para ulama yang memandang bid’ah dari aspek syari’at membagi bid’ah ke dalam dua jenis, yakni bid’ah al-‘adiyah [bid’ah dalam kebiasaan/adat sehari-hari] dan bid’ah ta’abudiyah [bid’ah dalam ibadah].
Bid’ah al-adiyah, adalah adat kebiasaan duniawi yang telah diserahkan oleh Rasulullah kepada umatnya untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, sebagaimana dalam sabdanya: “Kamu lebih tahu dengan urusan duniamu” [H.R. Muslim]. Jadi menurut kelompok ini, bid’ah dalam arti sebenarnya adalah hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut ibadah.
Kelompok ini memandang bahwa pengertian bid’ah wajibah dan mandubah, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama dalam aspek kebahasaan, dianggap sebagai al-maslahah al-mursalah. Oleh karena itu, mengumpulkan dan membukukan Al-Quran, serta membuat kaidah-kaiadah untuk menggali hukum dari Al-Quran dan sunnah tidak dianggap sebagai perbuatan bid’ah, tetapi merupakan salah satu bentuk al-maslahah al-mursalah.
Menurut Al-Syatibi, bid’ah dapat dikatagorikan atas dua macam, yakni bid’ah haqiqiyah [bid’ah hakiki] dan bid’ah idafiyah [bid’ah karena hal lain]. Bid’ah haqiqiyah adalah segala sesuatu yang tidak ada dasar dan rujukannya dalam syari’at, baik dari Al-Quran, sunnah, ijmak, maupun dalil-dalil lain yang biasa digunakan sebagai pedoman ulama dalam menetapkan hukum. Contohnya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, dan menciptakan ibadah di luar ketentuan syara’. Sedangkan bid’ah idafiyah, yaitu sesuatu yang dianggap sebagai bid’ah berdasarkan salah satu sisinya; artinya dari dari sisi pertama tidak termasuk bid’ah, tetapi dari sisi lain merupakan bid’ah. Seperti, ibadah merupakan sunnah Rasulullah, tetapi mengkhususkan satu hari untuk ibadah adalah perbuatan bid’ah.
Di samping pandangan di atas, menurut Izzat Ali Id Atiyah, bid’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu: [1] Bid’ah I’tiqadiyah [bid’ah dalam keyakinan], yaitu bid’ah karena menganut suatu keyakinan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dibawa oleh Rasulullah, seperti bid’ahnya keyakinan kelompok Mujassimah [golongan yang menganut paham antropomorfisme], kaum Khawarij, dan lain sebagainya; [2] Bid’ah qauliyah [bid’ah ucapan], yakni suatu bid’ah karena mengubah atau memalsukan ucapan nabi Muhammad SAW, seperti mengubah hadis tentang kewajiban membayar zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah; dan [3] Bid’ah amaliyah [bid’ah dalam perbuatan], yaitu bid’ah kerena menentang perbuatan Rasulullah saw dalam hadits-haditsnya.

Tidak ada komentar: