Senin, 22 Juni 2009

NAFSU BERIJTIHAD




Seiring dengan kemajauan zaman, sering kita jumpai manusia-manusia yang mengabaikan, memandang sebelah mata dalam arti tidak mau mengakui keberadaan Madzahibul Arba'ah, Bahkan secara eksplisit mereka berani memproklamirkan diri sebagai golongan yang mempunyai potensi yang layak menyandang title Mujtahid Mutlak. Mereka berkeyakinan mampu memutuskan permasalahan-permasalahan agama yang dihadapi dengan hanya berpegang pada Al-Qur'an dan Al-Hadits menurut interpretasi yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan slogan yang digembor-gemborkan oleh Ibnu Taimiyah: "Marilah kita kembali pada Al-Qur'an dan Al-Hadits, Marilah kita buka kembali pintu ijtihad dan marilah kita tinggalkan jauh-jauh pintu taqlid". Slogan ini kemudian didengungkan oleh orang-orang yahudi yang beratribut Islam.
Di akui ataupun tidak mereka hanyalah komunitas manusia yang tidak punya jati diri dalam permasalahan agama, sehingga akal dan persepsi yang mereka miliki sangatlah labil, juga tidak pernah konsis dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, dalam satu permasalahan misalnya, mereka menghukumi haram, tetapi dalam kesempatan lain justru menghukumi halal. Sekilas pandang mereka tampak kompak dan bersatu, tapi realitanya mereka bercerai-berai, hal ini disebabkan banyaknya perbedaan pendapat yang signifikan di antara mereka, karena masing-masing merasa punya potensi dalam menggali suatu hukum.
Bagaimana mungkin mereka disebut sebagai mujtahid, sedangkan modal dasar untuk ijtihad tidak mereka miliki, disamping itu mereka mengingkari serta enggan bertaqlid kepada salah satu imam Madzahibul Arba'ah dan hanya mengikuti pemimpin mereka yang notabene ialah orang sesat, namun ironisnya tanpa disadari mereka tidak bisa melepaskan diri dari jeratan belenggu taqlid yang mengikat mereka, sebab seseorang tidak bisa di anggap lepas dari taqlid apabila ia belum mengetahui dalil dari sebuah hukum berikut cara penggaliannya (Istinbatul Ahkam) dengan pemikirannya sendiri tanpa bertanya pada orang lain, sedangkan mereka beranggapan bahwa jika seseorang dengan sekedar bertanya tentang suatu dalil kemudian di jawab maka sudah terlepas dari taqlid.
Mereka hanyalah orang-orang yang terperdaya oleh hawa nafsu, mudah terbawa arus serta terbuai dalam aqidah yang sesat, sehingga mereka berasumsi bahwa membatasi diri dengan salah satu dari Madzahibul Arba'ah merupakan dinding pemisah dan pintu besi di antara mereka dan keinginan pribadi. Oleh karena itu demi tercapainya suatu tujuan yang busuk, mereka mereka membuang taqlid secara keseluruhan dan beralih pada jalan ijtihad yang notabene suatu hal yang impossible bagi mereka. Mungkin ibarat yang tepat bagi mereka adalah "Bagai pungguk yang merindukan bulan".
Menurut golongan Ahli Sunnah Wal Jama'ah, orang yang ingin mengamalkan ajaran Islam dengan jalan ijtihad sendiri maka ia harus memenuhi berbagai persyaratan yang sangat ketat, Menguasai beberapa hal diantaranya: Harus benar-benar mengetahui Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum. Mengetahui Fiqh, baik qo'idah-qo'idah maupun permasalahannya. Harus mengetahui hal ihwal para perawi Hadits mengenai adil atau tidaknya. Mengetahui lafadh-lafadh Al-Qur'an yang bersifat "am, mujmal, muqoyyad, nasikh, mansukh, nash, dhohir, muhkamat, dan mutasyabihat (menguasai fan fan Ushul Fiqh). Menguasai Ilmu bahasa arab, ilmu lughot, ilmu nahwu dan shorof.(arabic grammer). Mengetahui ijma' dan pendapatnya para ulama fiqh. Mengetahui khilafiyah yang terjadi di antara para ulama. Dan masalah-masalah lain yang erat hubungannya dengan kepentingan berijtihad.
Meskipun mereka bisa dikatakan sebagai mujtahid, tapi dalam sebatas hal mengeksploitir dalil agar lepas dari ikatan taqlid yang melilit diri mereka. Mereka memiliki semboyan "Kami adalah kaum cendekiawan yang punya IQ tinggi, pendapat yang cemerlang dan telah mencapai taraf kesempurnaan dalam berfikir". Tapi sayangnya semua itu digunakan sebagai penunjang untuk mengumbar kesenangan dan memenuhi kebutuhan yang dapat menghantarkan mereka untuk menghalalkan segala sesuatu. Mereka dalam mengumbar kesenangan seeperti binatang ternak yang merumput di padang yang subur, bila mereka tidak layak di sebut sebagai golongan ibahiyyun maka sebuan yang tepat untuk mereka adalah hasyawiyyun.
Kaum ibahiyun adalah golongan yang berasumsi bahwa seorang hamba apabila telah mencapai puncak mahabbah kepada Allah SWT, serta hatinya tak pernah lalai dan memprioritaskan iman ketimbang kufur maka ia sudah tidak terkena taklif (tuntutan hukum syara') serta tidak akan di masukkan Allah kedalam neraka sebab melakukan dosa besar.
Imam Dasuqi menuturkan "Golongan Hasyawiyah ialah golongan yang terisolir yang selalu kontroversi dengan pendapat kebanyakan para Ulama". Munculnya golongan Hasyawiyah berawal dari perseteruan yang terjadi di antara mereka dengan Hasan Al-Bashri, pada mulanya mereka mereka berada pada barisan depan dalam sebuah seminar (halaqoh), kemudian setelah dinilai mereka selalu kontrapersepsi dengan jama'ah maka akhirnya di usir dari barisan depan majelis pindah kearah pinggiran (janibil halaqoh).
Imam Taqiyuddin mengutarakan "Kaum Hasyawiyah merupakan sekelompok orang yang hina yang mengklaim sebagai pengikut setia Imam Ahmad Bin Hanbal, sedangkan realitanya jauhnya panggang dari pada api karena I'tiqod mereka tidak sama dengan beliau".
Hasyawiyyah dalam menginterpretasi argumen Imam Hambali banyak melakukan kekeliruan, sehingga para pengikut merekapun terjerumus dalam kesalahan yang sama. Sejak meninggalkan halaqoh mereka selalu terisolir serta tidak memiliki sosok figure pemimpin yang berwibawa dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan bersama. Dalam mempropagandakan fahamnya ke masyarakat luas mereka selalu menjalin birokrasi dengan pemerintah, namun Allah menghendaki lain sehingga mereka selalu berupaya melakukan perluasan demi kepentingan golongan, tetapi ternyata tidak ada seorangpun yang ingin berhubungan serta menganut ideologi mereka, kecuali ia akan mendapatkan kemalangan dan kesialan.
Tipu muslihat yang mereka lancarkan dalam meluaskan pengaruh ialah dengan meracuni I'tiqod para Ulama Syafi'iyyah dan yang lain yang keluar dari pendapatnya kebanyakan Ulama, terutama orng-orang yang berkecimpung dalam mempelajari Hadits tanpa mengukuhkan ilmu syari'at terlebih dahulu, sehingga mereka menganggap golongan hasyawiyyah berbicara sesuai Hadits.
Imam Ibnu Asakir (salah satu Ulama Hadits terkemuka pada saat itu) tidak berkenan meriwayatkan Hadits pada gpolongan hasyawiyyah dan tidak memberikan izin untuk menghadiri halaqoh beliau, karena khawatir mereka akan memanipulasi Hadits untuk kepentingan mereka. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Nuruddin As Syahid.
Semoga Allah SWT berkenan menunjukkan kepada kita antara perkara yang haq dengan yang bathil agar senantiasa melangkah di jalan yang di ridloiNya. Wallahu a'lam bisshawab…(***)

Tidak ada komentar: