Kamis, 26 Februari 2009

Sensor Film, Perlukah?

Ketika kita menonton sebuah film, entah itu film dari dalam negeri ataupun manca, kita pasti akan membaca tulisan “Lembaga Sersor Film menyatakan bahwa ............... telah lulus sensor”. Itu kalau memang anda pernah menonton film di bioskop. Atau TV, DVD player dan Listrik telah masuk ke daerah anda, kalau anda sama sekali belum pernah menonton film cobalah anda main ke rumah anda yang sudah ada TV, DVD player dan listriknya, pasti akan tahu tulisan itu.
Disini penulis tidak ingin membahas lebih panjang apakah anda ndeso atau kuto, penulis hanya ingin memberikan tanggapan dan opini terkait pro-kontra keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) yang sedang ramai dibicarakan dan sedang menjalani proses persidangan. Memang, LSF saat ini sedang digugat oleh sebagian insan perfilman Indonesia yang menganggap LSF sudah tak relevan lagi dengan kondisi saat ini, tentunya mereka tidak asal menuntut pemerintah, dalam hal ini Departemen Penerangan (Deppen), untuk membubarkan LSF, tetapi mereka juga menyajikan alasan-alasan yang menjadi dasar dari tuntutan yang meraka lontarkan.
Para insan perfilman Indonesia pun sebenarnya tidak berada dalam satu pendapat dalam menyikapi hal ini, sebagian mendukung tetap eksisnya LSF, dan sebagian yang lain terutama para sineas muda yang getol menuntut pembubaran LSF, baik dari kalangan aktor, aktris, sutradara maupun penulis skenario.
Perlu diketahui, bahwasanya LSF sebenarnya bukanlah sebuah lembaga sensor yang tugasnya hanya memotong bagian-bagian dari film yang berisi adegan-adegan yang berbau pornografi, tetapi lebih umum kepada hal-hal yang tidak layak dikonsumsi oleh orang banyak, dalam hal ini bisa kita contohkan adegan yang terkesan pelecehan terhadap Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Wacana pembubaran LSF pun bukanlah sesuatu yang baru, wacana itu sudah lama bergulir, namun baru sekarang ini benar-benar mencuat dan sampai pada proses hukum.
Okelah, sekarang kita coba berpikir dan cermati dasar pemikiran para sineas yang menuntut pembubaran LSF. Secara garis besar, alasan yang mencuat ke permukaan adalah, pertama LSF hanya membatasi ruang gerak para insan perfilman dalam berekspresi, setiap detil dari adegan film adalah seni dan mengandung suatu maksud dan informasi tertentu, apabila ada adegan yang terpotong maka akan ada makna terkandung dan informasi yang hilang, sehingga penonton akan kurang lengkap menerima maksud dan tujuan dari film. Kedua kecerdasan orang Indonesia sudah sangat cukup mampu untuk memahami seni dalam perfilman serta mampu memilah hal-hal yang patut dicontoh dan yang harus dijauhi.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah LSF memang benar-benar harus dipertahankan ataukah harus dibubarkan? Apakah alasan-alasan yang diajukan oleh para sineas yang penuntut pembubaran LSF sudah melalui pertimbangan-pertimbangan logika yang matang, ataukah hanya berdasarkan pada kepentingan-kepentingan sesaat dan mengesampingkan efek yang lebih buruk?
Kalau kita pandang sekilas, alasan-alasan di atas ada benarnya juga, tapi menurut penulis, jika kita mau berpikir dari berbagai sudut pandang yang lebih luas, mungkin kita akan akan berbicara lain.
Semua orang tahu, film adalah sebuah karya seni yang mengandung makna dan maksud tertentu, sebuah film pasti mempunyai nilai informasi yang ingin disampaikan, dan makna itu disampaikan melalui akting serta dialog para pemerannya pada setiap adegan demi adegan. Dan setiap detil dari adegan film pasti juga mendapat sentuhan-sentuhan seni agar tersaji menjadi sebuah karya yang indah. Tetapi, apakah untuk menyampaikan informasi sebuah film harus menghalalkan segala macam cara? apakah untuk mengekspresikan sebuah karya seni sebuah film harus menampilkan hal-hal buruk yang berlawanan dengan nilai-nilai etika masyarakat? apakah untuk menyampaikan sebuah maksud film harus menampilkan pelecehan-pelecehan yang akan menyakiti pihak yang merasa tertuju? Jika kita mau berpikir, pasti kita akan menjawab “TIDAK”. Jika ada dari para insan perfilman menjawab “IYA”, berarti kita dapat mengatakan, betapa dangkal kemampuan mereka dalam berkreasi, sehingga tak dapat menemukan cara lain yang lebih etis untuk mengungkapkan maksud yang ingin dituju dari sebuah film.
Yang lebih mengkhawatirkan, jika alasan demi “nilai seni dan kejelasan makna film” hanyalah alasan yang buat-buat dan hanya sebagai kedok (walaupun tidak semuanya), padahal alasan yang sesungguhnya adalah demi kepentingan komersial. Sebagai contoh logis, sebuah film akan lebih laris dan lebih menghasilkan (pada umumnya) jika dalam film itu ada adegan percintaan yang “syur”, walaupun adegan percintaan itu sendiri kadang kurang realistis dalam penempatannya, dan jika adegan itu tidak ada pun sebuah film akan dapat di mengerti maknanya.
Selanjutnya, alasan yang mengatakan bahwa orang indonesia sudah cukup cerdas untuk memahami sebuah makna film dan dapat memilah hal-hal yang baik serta buruk pun sebenarnya hanyalah alasan sepihak dan kurang obyektif. Mungkin saja alasan itu benar kalau kita tinjau dari sebagian kecil dari manusia, tetapi kalau kita tinjau dari sudut pandang psikologi (kejiwaan) manusia, kebanyakan manusia lebih suka meniru atau melakukan hal-hal yang tervisual / terlihat oleh mata daripada melakukan hal-hal yang berasal dari pemikirannya yang logis. Karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai sifat imitasi (keinginan untuk meniru) apa yang tertangkap oleh mata dan mempunyai jiwa selalu ingin tahu dan mencoba hal-hal baru. Ini terbukti dengan keadaan manusia yang sangat terpengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, seorang yang berada pada lingkungan perokok kemungkinan besar akan menjadi perokok karena terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Demikian juga tak mengherankan bila kita mendengar kabar ada seseorang yang melakukan tindakan pelecehan seksual ataupun tindakan pelanggaran yang lain karena terinspirasi oleh sebuah film.
Dari uraian panjang di atas, penulis berkesimpulan bahwa LSF sampai saat ini masih sangat diperlukan dan masih sangat relevan, sudah selayaknya pemerintah tetap mempertahankan keberadaan LSF. Tentunya kita tak ingin moral masyarakat kita semakin terpuruk karena mengkonsumsi tayangan-tayangan yang kurang etis untuk dinikmati. Dan semoga saja perfilman tanah air kita dapat semakin maju dan kreatif dengan tampilan yang lebih indah dan mendidik. Namun penulis juga tidak semerta-merta menyalahkan wacana pembubaran LSF, setiap orang boleh berpendapat dan berwacana, karena pada dasarnya perbedaan itu timbul karena manusia mengambil keputusan dan pendapat dari pertimbangan sudut pandang yang berbeda. Coba tanyakan kepada hati nurani kita sendiri, bagaimana dengan anda? Wallahu A’lam.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

I am sorry, that has interfered... I understand this question. Let's discuss.

Anonim mengatakan...

Earlier I thought differently, thanks for the help in this question.