Kamis, 01 Oktober 2009

Memahami dan Mengamalkan Ajaran Islam

Ajaran Islam diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran yang bersumber pada wahyu Allah [divine law]. Keyakinan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sumber ajaran Islam adalah Al-Quran dan sunnah. Kemudian dalam setting sejarah, proses terbentuknya hukum Islam sejatinya hanya berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal ini lebih disebabkan karena Nabi Muhammad mempunyai kewenangan dan otoritas penuh, bahkan melekat pada dirinya legitimasi teologis untuk melakukan hal itu.
Sementara generasi-generasi setelah Nabi Muhammad hanya berfungsi untuk mengembangkan konstruksi dasar hukum yang telah dibangun sebelumnya. Fenomena ini terlihat dalam ijtihad para fuqaha pada setiap periode yang telah menghasilkan produk fikih melalui metodologi ushul fikih dengan modifikasi-modifikasi tertentu yang tidak lepas dari kerangka Al-Quran dan Sunnah. Tentu saja, modifikasi ini merupakan hasil water menawar antar fikih dengan dinamika konstruksi sosial, budaya, dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Hukum Islam diformulasikan sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur kehidupan kaum muslimin dalam segala aspeknya, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Karakteristiknya yang serba mencakup inilah, yang menempatkannya pada posisi penting dalam pandangan umat Islam. Bahkan sejak awal hukum Islam telah dianggap sebagai pengetahuan par exellence –suatu posisi yang belum pernah dicapai teologi. Itulah sebabnya para orientalis dan Islamisis Barat menilai bahwa: “Adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.” [Joseph Schacht, 1971: 1]
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh interaksi dan dialektika antara wahyu dan akal. Fenomena inilah yang kemudian berkembang menjadi ijtihad, yaitu suatu proses upaya ilmiah untuk menggali dan menemukan hukum bagi sesuatu perkara yang tidak ditetapkan status hukumnya secara eksplisit [manshush] dalam Al-Quran dan sunnah
Selanjutnya, dalam tradisi Islam, fikih [Islamic jurisprudence] memiliki peran sentral sebagai instrumen hukum untuk mengatur kehidupan kaum Muslimin. Mereka memerlukan perangkat yang karakternya sudah tidak lagi murni tekstual normatif [Al-Quran dan hadits], tetapi sudah terstruktur menjadi pranata hukum yang aplikatif. Dengan kata lain, fikh merupakan produk hukum yang difungsikan oleh para pembuat hukumnya [jurists] sebagai manual untuk mengatur berbagai aktivitas kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, maka materi fikih berisikan ketentuan-ketentuan untuk mengelola keseluruhan aktivitas manusia, mulai dari persoalan ritual murni [purely religious rites] sampai pada masalah-masalah propan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Hanya saja pembagian materi fikih dalam berbagai bidang itu tidak pernah mengemuka dalam diskursus hukum Islam. Fikih selalu dipandang sebagai sebuah kesatuan, karena masa kodifikasi fikih pada era klasik dan pertengahan memang tidak melakukan diferensiasi terhadap ritual dan propan, serta masih berada dalam lingkup peradaban yang sederhana.

Sumber Ajaran Islam

Kata sumber-sumber ajaran Islam merupakan terjemahan dari lafadz mashadir al-ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul klasik. Selanjutnya untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, para ulama menggunakan bermacam-macam istilah, Abdul Wahhab Al-Khallaf misalnya, menggunakan istilah al-adillah al-Ahkam [dalil-dalil hukum], ushul al-ahkam [pokok-pokok hukum] dan mashadir al-ahkam [sumber-sumber hukum], semua istilah ini memiliki pengertian yang sama. [Abd al-Wahab al-Khalaf, 1968: 20] Sementara Imam Abu Ishaq Al-Syatibi menyebutnya dengan adillat al-syari’ah [dalil-dalil syari’at], asas al-tasyri’ [dasar-dasar penetapan hukum syara’], dan ushul al-syari’ah [pokok-pokok hukum syara’] [Abu Ishaq al-Syatibi, t.th, jilid I: 8-10]
Disamping itu ada juga istilah lain yang digunakan oleh Hasan Abu Thalib, yaitu mashadir al-syari’ah dan Sya’ban menyebutnya dengan mashadir al-tasyri’, yang berarti sumber hukum syara’.
Secara etimologis, istilah-istilah yang disebutkan di atas, memiliki pengertian yang berbeda, artinya jika disebut sebagai sumber hukum, maka konsekuensinya jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Dalam konteks ini, maka mashadir al-ahkam dalam Islam itu hanyalah Al-Quran dan sunnah saja. Pengertian ini didukung oleh paham bahwa Allah SWT sebagai al-syari’ [pencipta hukum Islam]. Para ushuliyun juga sepakat menyatakan bahwa hukum Islam itu seluruhnya berasal dari Allah SWT. Sementara Rasul hanyalah berfungsi sebagai penegas dan penjelas [al-muakkid wal-mubayyin] hukum-hukum Allah melalui wahyu-Nya.
Betapapun Rasulullah telah menetapkan hukum melalui sunnahnya ketika wahyu tidak menjelaskan, namun ketetapan Rasulullah ini juga tidak lepas dari bimbingan Allah. [Ali Hasballah, 1976: 16] Berdasarkan pemahaman ini, maka para ulama ushul fikih klasik dan kontemporer lebih cenderung mengatakan bahwa sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan sunnah.
Selanjutnya pengertian dalil mengandung pemahaman yang dapat dijadikan sebagai basis argumentasi [petunjuk] dalam menetapkan hukum syara’. Dalam konteks ini, maka Al-Quran dan sunnah disamping berfungsi sebagai sumber hukum Islam di satu sisi, di sisi lain juga berfungsi sebagai dalil untuk argumentasi penetapan hukum Islam.
Sedangkan dalil lain, seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahah al-mursalah dan sebagainya tidak dapat dikatagorikan sebagai sumber hukum Islam, karena dalil-dalil ini hanya bersifat menyingkap dan memunculkan hukum [al-kasyf wa al-izhar li al-ahkam] yang ada dalam Al-Quran dan sunnah, sehingga para ulama ushul sering menyebutnya sebagai thuruq istinbath al-ahkam [metode dalam menetapkan hukum]. Disamping itu, para ulama ushul juga sering mengidentifikasi sumber atau dalil syara’ ke dalam katagori dalil-dalil hukum yang disepakati [adillah al-ahkam al-muttafaq ‘alaih] dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan [adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha]. Katagori pertama terdiri dari Al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Sedangkan katagori kedua terdiri dari istihsan, istishab, maslahah al-mursalah, al-urf, sadd al-zari’ah, mazhab al-shahabi, dan syar’u man qablana.
Penetapan ijma’ dan qiyas yang disepakati kehujjahannya lebih didasarkan kepada statusnya sebagai dalil di kalangan Ahlussunnah. Para ulama Ahlussunnah sepakat menyatakan bahwa ijma’ dan qiyas dapat dijadikan sebagai dalil syara’ sekalipun keberadaanya sebagai dalil tidak bisa berdiri sendiri sebagaimana Al-Quran dan sunnah.
Berdasarkan keterangan tentang sumber dan dalil hukum di atas, maka yang termasuk dalam kategori sumber dan dalil hukum yang disepakati oleh mayoritas ulama ushul, yaitu: Al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan dalil yang diperselisihkan terdiri atas istihsân, istishab, al-’urf, sadd al-dzarî’ah, madzhab al-shahabi, dan syar’u man qablanâ.
Berdasarkan jenis dalil [naql dan ’aql] dan kedudukan dalil [disepakati dan diperselisihkan] tersebut, maka dapat dimatriks sebagai berikut: [Cik Hasan Bisri,223: 49]



Kedudukan Dalil

Jenis Dalil
Al-Naql
Al-’Aql
Disepakati
Al-Qur’an
Al-Sunnah
Al-Ijma’
Al-Qiyas

Diperselisihkan
Al-’Urf
Syar’u man Qablana
Madzhab al-Shahabi
Al-Istihsan
Al-Istishab
Al-Istishlah
Sadd al-Dzari’ah

Penetapan Addilah al-Ahkâm al-Muttafaq ’Alaih tersebut, menurut Abd. Al-Wahhab Khallaf, didasarkan kepada firman Allah:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[Q.S. 4: Al-Nisa’: 59]
Al-Khallaf lebih lanjut menafsirkan bahwa perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah mengikuti Al-Quran dan sunnah. Sementara perintah mentaati ulil amri di antara umat Islam mengandung pengertian mengikuti hukum yang telah disepakati oleh para mujtahid [ijma’]. Sedangkan pengertian mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan qiyas, ketika status hukum dari kasus yang diperselisihkan itu tidak dijumpai dalam teks nash dan ijma’.

Tidak ada komentar: