Kamis, 20 Desember 2007

Tasawuf Islam Orang Jawa



Oleh: Ainul Yaqien


MAYORITAS penduduk Indonesia, juga pulau Jawa, beragama Islam. Menurut sejarah, pada saat Islam merembes ke Jawa, agama Hindu dan Budha masih kuat di kalangan penduduk. Barangkali itu sebabnya, pemahaman sebagian orang Jawa terhadap agama Islam di masa lalu sedikit banyak dipengaruhi oleh alam pikiran Hindu dan Budha.
Dari situlah kemudian muncul apa yang disebut dengan Islam Kejawen. Budaya dan alam pikiran orang Jawa di masa lalu sangat dipengaruhi oleh cerita wayang. Di Jawa ada bermacam-macam wayang: wayang kulit, wayang orang, wayang golek, wayang krucil, dan sebagainya. Sumber cerita wayang ialah karya sastra yang disebut Ramayana dan Mahabarata.
Banyak orang Jawa yang memberi nama anak-anaknya dengan nama tokoh-tokoh wayang. Misalnya, Karna, Sena, Arjuna, Bima, Sadewa, Barata, Srikandi, Surtikanti, dan masih banyak lagi. Tokoh pewayangan yang paling banyak dikenal ialah lima kesatria bersaudara, yaitu: Judistiara (Darmokusumo), Seno Werkudoro (Bima), Arjuna, Nakula dan Sadewa. Bima, yang juga biasa disebut Sena, Bratasena, atau Wrekudara menduduki tempat cukup penting dalam Islam Kejawen, sebab ia terkait dengan berbagai cerita yang mengandung nilai-nilai spiritual.
Bima digambarkan memakai gelang supit urang, mukanya selalu menunduk dan belakangnya tinggi. Seperti halnya gambaran orang shalat. Ia tidak mau melayani orang lain, jika pekerjaannya sendiri belum selesai. Isyarat bahwa shalat tidak boleh dibatalkan. Ia berbentuk besar dan gagah perkasa, yang menjadi tiang pokok keluarga pandawa. Bima mempunyai “Aji-Aji Ponco Noko” yang berarti kekuatan lima. Aji-Ajinya selalu digenggam kuat, sebagai senjata perang. Ini berarti jika shalat itu dikerjakan dengan baik ia mempunyai kekuatan yang tangguh.
Dalam cerita pewayangan ada lakon-lakon tentang Bima, seperti Bima Suci, Bima Paksa, Bima Bungkus. Dalam lakon Bima Suci dilukiskan Bima sebagai penegak kebenaran dan keadilan yang selalu didampingi oleh Dewa Ruci. Suatu saat, Bima dipanggil oleh Resi Drona, gurunya. Bima harus terjun ke samudra yang sangat dalam untuk mengambil “Tirta Pawitra Sari” yang terletak di dasar pusat lautan. Prabu Duryudana musuh besar Sang Bima mendengar kabar itu lupa atas dendamnya, karena terharu dan kasihan kepada Bima yang akan masuk laut, berati bunuh diri. Menurut versi lain, Bima harus mengambil tirta prawirta sari, air suci atau air kehidupan. Jika berhasil, berarti ia lulus.
Ini mengambarkan bagi umat Islam yang semakin tebal imannya dan semakin kuat tekadnya untuk menuju hakekat agama dan mencari hakekat Tuhan, maka godaaan dan halangan pun semakin besar. Dalam hal ini bukan saja kawan yang terharu dan belas kasihan tapi juga dari pihak lawan. Tetapi itu semua (orang yang mengasihani) termsuk juga godaan yang harus dihindari.
Bima pun berangkat dengan penuh semangat. Singkat cerita, di dasar samudera itu Bima bukannya menemukan tirta prawirta sari melainkan sepasang ular naga yang siap melahapnya. Maka, perang dahsyat pun terjadi antara Bima dan kedua naga itu. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Bima berhasil membunuh naga raksasa. Lepas itu datanglah kepadanya dua orang dewa mengucapkan terikasihnya karena tertolong dapat kembali berujud dewa lagi yang mulanya berujud dua burung liar.Sebagai penanda terima kasih, Sang Bima diberi “Sabuk Cinde Wilis” dengan bara kembar dan dipakai di paha kanan kiri.
Adegan pertempuran Bima dan dua naga raksasa ini mengandung makna apabila orang bermaksud mensucikan diri secara sungguh-sungguh maka ia harus menutup mata dan telinga terhadap ejekan orang lain, yang menjadi penghalang dan godaan. Maka akhirnya watak kedurhakaan penghina/penghalang itu akan sadar juga. Hadiah sabauk bara berupa cinde kembar ialah si salik (orang yang bersuluk) telah kuat tekadnya (kuat seperti ikat pinggang. Bara di kanan berarti lurusnya tindak lahir harus diusahakan dengan cara melepaskan diri dari ikatan-ikatan kedunaiaan. Bara aertinya kuatnya tekad dalam memegangi ajaran guru.
Kini ia sadar, bahwa Guru Drona menjebaknya agar terbunuh. Ia menahan amarah, berdiri tegak, bersedekap untuk bersamadi. Tiba-tiba keluarlah seorang Bima yang lain dari tubuhnya. Tubuhnya kecil mungil, dan mengaku bernama Dewa Ruci.
Sehari-hari Bima selalu bicara secara ngoko, bahasa kasar, termasuk kepada mereka yang berusia lebih tua, bahkan kepada dewa sekalipun. Ia juga tak pernah menyembah. Tapi di hadapan Dewa Ruci ia langsung menunduk, menyembah dan bicara dalam bahasa kromo, bahasa halus. Filosofi yang dapat ditarik dari pribadi Bima ialah: ia adalah tokoh yang jujur, tidak munafik, ia selalu konsekwen dan konsisten.
“Ngapain kau di sini?” tanya Dewa Ruci.
“Aku mendapat tugas dari Guru Drona mencari air suci, Baginda Dewa,” ujar Bima.
“Di sini tidak ada angin, tidak ada air. Yang ada hanyalah aku, Dewa Ruci” ujar sang Dewa sambil membelai kepala Bima, memberi isyarat agar bangkit dari sembahnya. Bima pun tegak.
Kedua naga dan raksasa yang diperangi oleh Bima tiada lain gambaran godaan yang menghadang perjalanan hidup manusia. Siapa yang mampu menghadapi godaan hawa nafsu, akan selamat di dunia dan akhirat. Beberapa wejangan atau nasihat Dewa, antara lain disebut Pancamaya, Pramana, dan sebagainya. Pancamaya berarti lima bayangan yang timbul sebagai hasil kerja panca indra, yang mengendap di bawah sadar. Pramana berarti denyutan jantung.
Bagi orang yang sudah rindu ma’rifatullah walaupun sudah menjauhkan diri dari keramaian keduniaan, namun masih ada godaan dan malah nafsu ini terus menggoda ketika orang sedang berkhalwat (menyepi). Nafsu itu pertama, nafsu lawwamah seperti makan, minum yang digambarkan, maka dilambangkan dengan Begawan Maenaka(Bayu Langgeng). Kedua, nafsu sufiyah seperti ingin melihat yang serba indah dan enak lambangnya Gajah Setubanda (Bayu Kanitra). Ketiga, nafsu ammarah, nafsu yang mendorong manusia menjadi pemarah, lambangnya jajak wreka (Bayu Anras). Keempat, nafsum Muthmainah, ialah nafsu yang mendorong kesucian tetapi apabila menyeleweng (semuci-suci) justru menyebabkan dosa, lambangnya resi anom (Bayu Kinara). Kelima, nafsu mulhimah, ialah kekuatan budi yang mendorong untuk melanjutkan menacapai sesuatu cita-cita (Bayu Amangkurat). Nafsu mulhimah atau juga perlambang Sang Arya Sena inilah yang memimpin 4 nafsu di atas.
Menurut ajaran Dewa Ruci, zat yang menghidupi ialah Suksma Sejati, yang mengekspresikan sifat-sifat-Nya dalam diri manusia. Bila manusia mati, Pramana pun mati tapi Sukma Sejati hidup terus di alam yang tidak terbatas waktunya. Dewa Ruci juga menguraikan masalah kematian dan pegangan hidup. Menurut Dewa Ruci, hidup itu tidak mati sebab hidup adalah abadi. Kalau pun ada yang mati, yang mati hanyalah raga. Sementara jiwa atau sukma yang menghidupi raga tidak pernah mati, hanya kembali ke asalnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Kematian juga tidak mudah. Mati yang sempurna tidak akan tercapai jika manusia tergila-gila kepada duniawai. Maka, pesan Dewa Ruci: manusia harus selalu mempersiapkan diri untuk mati. Karena itu manusia harus mampu mengekang hawa nafsu, jangan melakukan kejahatan. Dengan berbuat baik, manusia dapat “menyatu” dengan Tuhan, yang dalam bahasa Jawa disebut Pamoring Kawula - Gusti. Jika sudah demikian, manusia bisa mencapai tingkatan spiritual yang paling tinggi yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Orang yang sudah bertaraf Tauhid yang sebenarnya dengan pertolongan Tuhan, rohnya telah lepas dari raganya dan berada di alam lain yang disebut alam ‘ajaiz. Kemudian roh itu dijemput oleh hakekat sebagai jisim (wadah=pengawak) yang dengan itu memungkinkan baginya mencapai maqam ma’rifat.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menguraikan tentang ma’rifatullah,”Ketahuilah, bahwa orang yang telah terbuka hatinya oleh sesuatu dalam ma’rifat kepada Allah, meskipun sesuatu yang mudah itu dengan jalan ilham dan masuknya dalam hati secara tidak diketahui, maka dia telah menjadi orang yang arif dengan jalan yang sah. Barang siapa yang belum dapat mencapai maqam ma’rifat yang demikian pada diri dan jiwa nya, maka baiknya cukup beriman saja kepada Allah. Karena memang derajat ma’rifat di dalam jiwa itu sangat mulia. Yang demikian disaksikan kebenarannya oleh bukti-bukti atau dalil-dalil syara.”
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT,”Mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh di dalam ma’rifat kepada kami, tentulah Kami beri petunjuk jalan-jalan Kami (Jalan menuju kepada ma’rifat). (QS Al-Ankabut: 69).
Dalam Serat Bimapaksa disebutkan bahwa penghayatan ruhaniah yang paling tinggi ialah kasampurnaning ngaurip (kesempurnaan hidup). Dan hidup yang sempurna ialah yang mendapatkan hidayah Allah hingga menjadi insan kamil (manusia sempurna). Untuk itu manusia harus mengenal ngelmu sangkan paraning dumadi, yakni ilmu tentang asal-muasal manusia (***)

Tidak ada komentar: