Rabu, 19 Desember 2007

Nilai Etika Untuk Membangun Jatidiri


Oleh: Ainul Yaqien


Kalau kita sebutkan Etika, yang kita maksudkan sebenarnya adalah jiwa dan roh yang menyertai suatu tindakan. Karena tindakan lahir saja dapat juga disertai oleh jiwa dan keinginan yang berbeda-beda. Memberikan uang kepada pengemis dapat terjadi dengan maksud supaya di puji dan di anggap dermawan. Tetapi dapat pula agar pengemis itu segera berlalu dan jangan berlama-lama mengganggunya. Atau mungkin karena di dorong oleh rasa kasih sayang dan belas kasihan. Aristoteles, mula-mula memakai kata-kata itu berasal dari ethos untuk suatu kehendak baik, yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah.
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan sering dikaitkan dengan perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan merata.. Seorang yang menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu di anggap baik pula oleh orang lain, tergantung pada adat kebiasaan yang di pakai oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun demikian, etika berlainan pula dengan adat, karena adat hanya memandang lahir, melihat tindakan yang di lakukan, sedang etika lebih memperhatikan hati dan jiwa orang yang melakukannya, dengan maksud apa ia dilakukan. Seorang yang membungkukkan badannya ketika berlalu di hadapan orang yang tua-tua, telah di anggap memenuhi suruhan adat, telah memenuhi adat, tetapi belum tentu etis, tergantung kepada maksud apa ia membungkukkan badan.
Tetapi hati dan jiwa itu tidak dapat dilihat, maksud seseorang tidak mudah diketahui, apalagi kalau disembunyikan rapat-rapat. Sebab itu etika berhubungan dengan tindakan. Maksud itu harus di iringi dengan perbuatan, kalau tidak demikian maka tidak dapat dilihat dan diketahui, yang dilihat hanyalah gerak-gerik dan bentuk-bentuk lahir itu. Jadi etika itu adalah perbuatan lahir yang dilaksanakan dengan maksud yang baik. Bukan perbuatan yang lahir saja tanpa tujuan dan bukan pula tujuan saja, karena tujuan itu tidak dapat dilihat.
Ada yang mengatakan bahwa etika itu di gerakan dari luar, dari lingkungan manusia. Perundang-undangan, adat, dan tekanan-tekanan luar membuat manusia bertindak dan berbuat sesuai dengan tekanan-tekanan itu, dengan demikian terbentuklah Ethika Heteronom (dari heteros berarti "bergantung" dan nomos berarti "undang-undang"). Tetapi segala tindakan itu masih karena tekanan luar. Orang tidak mencuri hanya karena takut di hukum undang-undang, sebenarnya orang itu masih belum bernama etis. Sebab itu masih ada orang yang bernama Ethika Otonom (autos berarti "sendiri"). Harus berpangkal dari diri sendiri, tidak mau mencuri karena memang mencuri itu buruk dan dirasakan tidaklah pantas.
Kemudian menjadi persoalan pula apakah bisikan jiwa yang membawa tindakan etis (conscientia) sekaligus diberikan kepada manusia dalam keadaan sempurna atau berangsur-angsur berkembang atas dasar pengalaman. Descartes, Spinoza, dan lain-lain berpendapat di datangkan sekaligus. Descartes mengeluarkan dalil: Cogito Ergo Sum,I (saya berpikir jadi saya ada) semua disangsikannya kecuali ada dirinya karena diri itu berpikir. Dengan pikiran-pikiran timbullah perasaan-perasaan yang membuat etiket. Karena pikiran datangnya sekaligus setelah manusia dewasa, sudah tentu etika yang timbul dari pikiran itu datangnya juga sekaligus, segera setelah ada pikiran. Manusia menentukan tindakannya dengan kekuatan akal dirinya sendiri sejak diketahuinya apa yang baik dan yang jahat tanpa membutuhkan pengalaman lebih dahulu. Pendapat demikian disebut pendapat Ethika priorisme, atau boleh juga disebut rationalisme (ratio: otak) atau nativisme (natus: lahir).
Socrates juga berpendapat demikian, antara lain ia berkata: Pengertian susila yang sama telah tersedia pada semua manusia sejak lahirnya. Tugas manusia hanya memperoleh pengertian yang "terang" dan "jelas (clear and distinct) tentang yang baik dan yang jahat". (Terang dimaksudkan lawan dari gelap atau kabur seluruhnya, sedang jelas yaitu dapat diketahui seluruh bagian-bagiannya, dapat dibedakan satu bagian dengan lain, lawan dari samar-samar). Jalan untuk mencapainya, menurut socrates, ialah berpikir secara betul dan selalu ingat akan "nosce te ipsum" (kenalilah dirimu sendiri). Hanya orang yang tidak mengetahui saja berbuat salah, orang yang pintar selamanya baik. Orang baru di anggap dewasa setelah ia: (1) Mengetahui dirinya (berani mengakui nilainya sendiri); (2) Berani mengakui "aku"-nya yang kedua (isterinya); (3) mengakui masyarakat tempatnya berada, dan (4) berani mempertahankan filsafatnya sendiri.
Kalau manusia telah mempunyai pengertian yang terang dan jelas tentang yang baik, dengan sendirinya, ia akan bertindak. Sebaliknya ketidaksusilaan, adalah disebabkan ketidak adaan pengetahuan. Demikian socrates berpendapat.
Spinoza membentangkan etika-nya dengan menurunkan kodrat alam semesta. Manusia hidup bersusila, kalau ia hidup sesuai dengan alam, dipimpin oleh hukum-hukum alam yang telah ada dalam "aku"nya. Semakin sempurna suatu benda, semakin nyatalah dia, lalu orang bertindak lebih banyak (sibuk). Dengan demikian ia lebih sedikit menderita. (Kalau orang mau sempurna bertindaklah dengan sibuk, karena sibuk tidak akan menderita). Selanjutnya ia menjelaskan :
"Kita sibuk bila kita menjadi sebab dari apa yang terjadi di luar kita, sebaliknya kita menderita bila kita tidak menjadi sebab atau hanya sebagian menjadi sebab. Roh manusia menjadi sibuk dan gembira bila mempunyai tanggapan yang benar dan sempurna. Segala penderitaan sebenarnya disebabkan tanggapan yang kacau, tanggapan-tanggapan yang kacau inilah yang menimbulkan hawa nafsu dalam "aku" kita. Manusia demikian bukan lagi "tuan" dari dirinya sendiri, tetapi telah takluk dan diperbudak oleh keadaan dan demikian terikat kepadanya sehingga ia terpaksa menempuh jalan yang salah. Yang "baik" ialah kita ketahui secara pasti sesuatu itu "berguna" bagi kita. Yang "jahat" juga kita ketahui secara pasti "merintangi" kita memperoleh sesuatu yang baik.
Imanuel kant (1724-1804) juga menganut etika priorisme ini, dengan mengajarkan: "pengalaman" tidak menunjukan kepada manusia bagaimana ia "mesti" bertindak, hanya menunjukkan bagaimana "sebenarnya " ia bertindak. Sebagaimana akal memberikan undang-undang kepada dunia peristiwa, demikianlah akal praktis (praktische Vernumft) memberikan undang-undang kepada dirinya sendiri untuk berbuat baik. Sebutan "baik" hanya dapat diberikan kepada kehendak dan tindakan, apabila kita memperkembangkan kehendak baik yang ada pada "aku" kita tanpa suatu pembatasan, tanpa "kalau" dan tanpa "akan tetapi", hanya didorong oleh kesadaran kewajiban bertindak yang bersifat susila dan menjadikan hak-hak susila itu sebagai "Kategorische Imperatio" (perintah yang berlaku untuk segala zaman dan tempat).
Darwin berkata: "Sebagaimana berlaku bagi dunia alami, bagi dunia susila juga berlaku dalil perkembangan (the principle of evolution). Faktor pengalamanlah yang membentuk confensia, karena dalam perjuangan hidup (the struggle for life) tidak hanya tinggal yang terbaik dan yang terkuat, tetapi juga tercapai kemajuan perasaan sosial yang berguna untuk memelihara masyarakat hidup. Perjuangan hidup itu menimbulkan undang-undang hidup dan syarat umum kehidupan yang menjadi ukuran tindakan manusia, ukuran yang menentukan mana yang "baik" dan yang "jahat". Baik, apabila dapat memajukan perkembangan dan "buruk" apabila merintangi perkembangan itu".
Demikian simpang siurnya pendapat orang tentang etika. Orang menggali dan menggali, tetapi satu hal yang sudah jelas bahwa orang memerlukan etika bukan saja karena tuntutan alam sekitarnya, tetapi juga untuk kepuasan dan kebahagiaan dirinya sendiri. Sesuatu yang melanggar etika, bukan saja perlu tidak dikerjakan, tetapi juga harus benar-benar dijauhi, tidak hanya lahirnya saja ditinggalkan, tetapi hati benar-benar merasa jijik mendekatinya dan melihat orang lain mengerjakannya. Wallahu a'lam bisshawab. (***)

Tidak ada komentar: